Kemandirian bangsa untuk meningkatkan ketahanan nasional
Tema makalah Kemandirian bangsa untuk meningkatkan ketahanan
nasional
Judul makalah : Ketahanan Pangan Di Indonesia
- Nama : Muhammad Najmi Yusuf
- Kelas : 2EA11
- NPM : 15212014
- Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Kata Pengantar
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Dalam
pembuatan makalah ini, kami mendapat bantuan dari Pak Emiliansyah yang telah
memberikan materi dari blognya sebagai referensi isi dari makalah ini, kami
sangat berterima kasih kepada beliau. Selain itu dalam membuat makalah ini kami
membaca beberapa blog pribadi yang cukup relevan dan dapat dipercaya sebagai
referensi.
Makalah ini
saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Semoga setiap kata,penjelasan dan tulisan yang ada dalam
makalah ini dapat memberi kontribusi yang nyata untuk membawa kehidupan kita
bersama ke arah yang lebih baik .
Daftar Isi
Hal
Latar belakang pangan
.......................................
Pembahasan .........................................
Kesimpulan ..........................................
Saran ....................................................................
Penutup
......................................................
Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa
Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi
oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan
oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996
tentang pangan. Dalam UU tersebut disebutkan Pemerintah menyelenggarakan
pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan, sementara masyarakat
menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta
berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah
dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan
mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan,
mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana
produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Di PP
tersebut juga disebutkan dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh
wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem
distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi
pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan.
Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan
diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya
lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan
peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan
gizi seimbang. PP Ketahanan Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan
ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi
pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping itu,
kerjasama internasional juga dilakukan
dalam bidang produksi, perdagangan dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan
dan penanggulangan masalah pangan serta riset dan teknologi pangan.
Dari uraian di atas
terlihat ketahanan pangan berdimensi sangat luas dan melibatkan banyak
sektor pembangunan. Keberhasilan pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan
tidak hanya oleh performa salah satu sektor saja tetapi juga oleh sektor
lainnya. Dengan demikian sinergi antar
sektor, sinergi pemerintah dan
masyarakat (termasuk dunia usaha) merupakan kunci keberhasilan pembangunan
ketahanan pangan.
Menyadari hal tersebut di atas, Pemerintah pada tahun 2001
telah membentuk Dewan Ketahanan Pangan ( DKP) diketuai oleh Presiden RI dan
Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian DKP. DKP terdiri dari 13 Menteri
termasuk Menteri Riset dan Teknologi dan 2 Kepala LPND. Dalam pelaksanaan sehari-hari, DKP dibantu oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan
Deptan, Tim Ahli Eselon I Menteri Terkait (termasuk Staf Ahli Bidang Pangan
KRT), Tim Teknis dan Pokja.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang ketahanan
pangan pasal 9 menyebutkan: (1) penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk
meningkatkan ketahanan pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan,
dan budaya lokal, (2) penganekaragaman pangan sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat1 dilakukan dengan a. Meningkatkan keragaman pangan, b. Mengembangkan
teknologi pengolahan dan produk pertanian dan c. Meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan prrinsip gizi berimbang
PEMBAHASAN
Kondisi iklim yang ekstrim di berbagai belahan dunia
baru-baru ini secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi
ketersediaan pangan. Kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan, banjir
serta bencana alam lainnya di berbagai wilayah dunia terutama di sentra-sentra
produksi pangan, sangat mempengaruhi ketersediaan gandum dan tanaman
bijian-bijian lainnya yang tentu saja berdampak pada ketersediaan produk pangan
tersebut untuk marketing season 2010/2011.
Menurut FAO jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan
pada tahun 2010 mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah dengan semakin
berkurangnya investasi di sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20
tahun terakhir, sementara sektor pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kekhawatiran akan makin menurunnya kualitas hidup
masyarakat, bahaya kelaparan, kekurangan gizi dan akibat-akibat negatif lain
dari permasalahan tersebut secara keseluruhan akan menghambat pencapaian goal
pertama dari Millennium Development Goals (MDGs) yakni eradication of poverty
and extreme hunger.
Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial.
Pangan merupakan basic human need yang tidak ada substitusinya. Indonesia
memandang kebijakan pertanian baik di tingkat nasional, regional dan global
perlu ditata ulang. Persoalan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian harus
kembali menjadi fokus dari arus utama pembangunan nasional dan global. Oleh
karena itu Indonesia mengambil peran aktif dalam menggalang upaya bersama
mewujudkan ketahanan pangan global dan regional.
Upaya mengarusutamakan dimensi pembangunan pertanian,
ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan Indonesia selaku koordinator G-33
secara aktif mengedepankan isu food security, rural development dan livelihood
security sebagai bagian dari hak negara berkembang untuk melindungi petani
kecil dari dampak negatif masuknya produk-produk pertanian murah dan bersubsidi
dari negara maju, melalui mekanisme special products dan special safeguard
mechanism.
Sebagai negara dengan komitmen yang tinggi untuk menjaga
stabilitas ketahanan pangan global, Indonesia juga telah menandatangani Letter
of Intent (LoI) dengan FAO pada bulan Maret 2009 sebagai bentuk dukungan
Indonesia terhadap berbagai program peningkatan ketahanan pangan global dan
pembangunan pertanian negara-negara berkembang lainnya. terutama dalam kerangka Kerjasama
Selatan-Selatan (South-South Cooperation), kerjasama teknis negara-negara
berkembang (KTNB/TCDC) dan pencapaian goal dari MDGs. Penandatanganan LoI ini
juga diharapkan akan semakin memperkuat peran Indonesia dalam membantu
peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang, terutama di
negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah berjalan sejak tahun 1980.
Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah
mengutarakan ada sembilan masalah terkait ketahanan pangan yang dihadapi oleh
Indonesia seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia menjadi 235-240
juta pascasensus penduduk 2010.
Permasalahan itu diantaranya sinergi dan sistem yang
terintegrasi diperlukan untuk dapat mengelola keamanan makanan, energi dan air
sehingga tidak menimbulkan masalah di masa kini dan mendatang. Selain itu upaya
untuk meningkatkan sejumlah komoditas unggulan pertanian --beras, jagung, kedelai,
gula dan daging sapi-- menuju swasembada dan swasembada berkelanjutan. Juga
sistem cadangan dan distribusi serta rantai pasokan dan logistik nasional yang
efisien.
Masalah lainnya adalah kekurangan produksi di sejumlah
daerah. Dan terpenting adalah stabilitas harga. Sementara koordinasi antara
peneliti dan kalangan industri sehingga permasalahan lainnya yaitu
penganekaragaman konsumsi pangan serta mekanisme pasar pasokan pangan.
ARAH PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN 2013
Memasuki tahun 2013 kekhawatiran semakin parahnya krisis
pangan menghantui sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengingatkan krisis pangan seperti
yang terjadi pada 2007/2008 bisa berulang pada tahun 2013. Untuk mencegah krisis
pangan di Indonesia, ketahanan pangan mutlak diperkuat. Beberapa komoditas
seperti kedelai dan daging tergolong rawan.
Menurut FAO, krisis pangan terjadi karena komoditas pangan
tidak terkelola dengan baik. Setiap negara mengupayakan penyelamatan sendiri.
Negara-negara yang dikenal pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam mulai
mengamankan terlebih dahulu kebutuhan dalam negeri. Mencermati fenomena ini,
pemerintah Indonesia patut melakukan peningkatan produksi pangan secara
berkelanjutan. Kemandirian pangan dan surplus produksi beras sebanyak 10 juta
ton tahun 2014 harus dicapai.
Belum Mantap
Pemerintah harus mendorong masyarakat untuk semakin memahami
dan memaknai pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan ekonomi nasional,
meskipun pemerintah kerap mengklaim Indonesia telah berhasil mencapai
swasembada pada beberapa komoditas pangan tertentu. Namun harus diakui
pencapaian swasembada belum mantap karena amat riskan digoyang krisis ekonomi.
Untuk itu setidaknya ada lima masalah mendasar yang menjadi
alasan penting menentukan arah pembangunan ketahanan pangan 2013. Yaitu:
Pertama, pangan adalah bagian dari basic human need yang tidak ada
substitusinya. Kedua, pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, disadari atau
tidak, mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap pangan (growing
demand). Selain itu, peningkatan jumlah the middle class yang berhilir pada
peningkatan konsumsi pangan yang lebih banyak. Ketiga, kerusakan lingkungan
yang diakibatkan antara lain oleh climate change yang sudah mengganggu produksi
dan produktivitas pangan nasional. Keempat, kompetisi antara sumber energi (bio
fuel) dan sumber pangan yang dapat mengganggu suplai pangan. Kelima, pentingnya
kemandirian pangan berkelanjutan serta masih adanya kerentanan dan kerawanan (baca
krisis) pangan di berbagai daerah.
Kelima hal mendasar itu mengindikasikan pentingnya sinergi
antara pemerintah pusat, daerah dan pelaku usaha untuk peningkatan produksi
komoditas pangan. Jika hanya mengandalkan peningkatan produksi untuk pencapaian
surplus beras sebanyak 10 juta ton, setidaknya sektor pertanian membutuhkan
tambahan 2 juta hektare (ha) lahan baru. Namun pencetakan sawah baru untuk
mengembangkan tanaman pangan dan menjamin ketahanan pangan di masa depan adalah
pekerjaan yang relatif sulit dan membutuhkan biaya besar.
Saat ini kondisi lahan pertanian, termasuk persawahan,
sangat mengkhawatirkan karena terus dikonversi atau beralih fungsi menjadi
nonpertanian, seperti permukiman, perdagangan, industri, dan jalan.
Berkurangnya lahan sudah pasti akan berpengaruh pada aktivitas sektor pertanian
dan berkorelasi positif pada defisit kebutuhan tenaga kerja. Yang dapat
melahirkan lebih banyak lagi pengangguran karena lahan pertanian semakin sempit
yang memaksa pelaku sektor ini meninggalkan pertanian.
Di setiap provinsi belakangan ini penggunaan kenderaan
bermotor roda empat yang jumlahnya meningkat secara signifikan membutuhkan
penambahan jalan untuk kelancaran lalu lintas. Setiap membuka jalan baru, akan
ada konversi lahan berkali lipat. Pembangunan jalan tol misalnya yang memakan
lahan sawah akan diikuti pembangunan lainnya di sepanjang jalan tol, antara
lain untuk permukiman, pusat perdagangan dan perkantoran. Selain itu,
kepemilikan lahan sawah juga sangat kecil, rata-rata di bawah 0,5 ha per petani.
Akibatnya, sampai kapan pun tidak akan membuat petani sejahtera. Bahkan,
kondisi ini memacu penjualan lahan sawah untuk keperluan nonpertanian. Lahan
pertanian yang dikonversi diperkirakan mencapai 100.000 ha per tahun. Meski
pemerintah dan DPR sudah mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, namun penerapannya tidak mudah. Tata ruang di
daerah yang sering berubah-ubah dan tidak konsisten berdampak pada pembangunan
sektor pertanian.
Di sisi lain, petani mewariskan lahan kepada anak-anaknya
dalan luasan yang semakin kecil sehingga tidak efisien, yang akhirnya dijual
karena tidak menguntungkan. Pemerintah patut memikirkan solusi agar keluarga
petani tidak membagi-bagi lahan tetapi membagi penghasilan.
Upaya penambahan lahan untuk pencetakan sawah baru guna
mengatasi laju konversi lahan yang kian masif belakangan ini patut menjadi
program kerja pemerintah. Data yang tersedia di BPN (Badan Pertanahan Nasional)
lahan tidur yang tersedia saat ini di seluruh Tanah Air ada sekitar 7,3 juta ha
yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Kementerian Pertanian dapat
juga bekerja sama dengan PT Perhutani untuk memanfaatkan lahan di bawah kendali
Perhutani untuk penguatan di sektor hilir. Di Pulau Jawa saja BUMN ini memiliki
lahan seluas 2,4 juta ha. Jika pemerintah bisa memanfaatkan paling tidak
500.000 ha tanaman hutan milik Perhutani untuk dikombinasikan dengan tanaman
pangan akan dapat memperkuat ketahanan pangan nasional
Kinerja Semakin Baik
Kita menyayangkan kenyataan masih sempitnya perspektif para
kepala daerah di sejumlah kabupaten/kota terkait dengan ketahanan pangan.
Mereka belum memaknai ketahanan pangan untuk kepentingan nasional. Namun baru
sekedar untuk kepentingan daerahnya semata sehingga penganggaran biaya program
kerja penguatan ketahanan pangan sering dalam jumlah yang relatif kecil.
Sebagai negara agraris yang dikenal dengan jargon gemah
ripah loh jinawi, Indonesia sesungguhnya menjanjikan surplus produksi beras dan
pangan lainnya yang dapat diandalkan untuk penguatan ketahanan pangan berbasis
kedaulatan pangan. Sejak ratusan tahun lalu petani di negeri ini sudah mengenal
pertanian padi dan membangun lumbung padi untuk menjaga ketersediaan pangan
manakala ada bencana. Dengan program kerja Badan Ketahanan Pangan Kementan yang
belakangan ini menunjukkan kinerja yang semakin baik, kini lumbung pangan tidak
hanya ada di Pulau Jawa, di luar Jawa pun sudah banyak dibangun lumbung pangan
guna mengawal ketahanan pangan berkelanjutan dan mencegah kerentanan dan kerawanan
pangan di berbagai daerah.
Sayangnya pembangunan lumbung pangan yang sudah banyak
menyedot anggaran belanja negara belum berfungsi dengan baik karena petani kini
tidak terbiasa lagi menyimpan hasil panennya di lumbung yang dibangun
pemerintah. Padi (beras) sebagai makanan pokok tingkat konsumsinya ditengah
warga masih tetap tinggi sehingga tidak sempat lagi disimpan dalam lumbung.
Sebaliknya, pangan berbasis umbi-umbian belum dapat berkembang secara optimal
baik dari segi budi dayanya maupun teknologi pengolahan untuk mengatrol
citranya di tengah masyarakat. Pembudidayaan tanaman pangan masih
terkonsentrasi pada beberapa komoditas strategis dan umbi-umbian kerap
dianaktirikan. Lima pangan strategis tetap berpusat pada beras, kedelai,
jagung, gula dan daging, diikuti dengan laju konsumsi produk olahan gandum yang
meningkat secara signifikan sehingga harus diimpor dalam jumlah banyak setiap
tahun. Gandum sebagai pangan subtropis kini semakin menjadi tren konsumsi warga
Indonesia.
Untuk memperkuat arah pembangunan ketahanan pangan 2013,
wajib hukumnya pemerintah kembali memperhatikan berbagai pangan potensial
wilayah sehingga kita bisa lebih berdaulat di bidang pangan. Pemerintah juga
harus melakukan perubahan paradigma pembangunan pertanian dari orientasi
produksi ke orientasi petani. Sudah lama petani dibelenggu oleh pemerintah -
mulai Orde Lama hingga Orde Reformasi - hanya sekedar obyek kebijakan yang
perumusnya kerap belum mengenal dan memahami seluk beluk pertanian. Sekedar
menyebut contoh kreativitas petani dikebiri melalui undang-undang, hak dan
kedaulatan petani tergerus atas sumber daya produktif. Yang paling menyedihkan
adalah petani dibiarkan bersaing di pasar bebas tanpa pendampingan.
Solusi instan tidak dikenal untuk pembangunan pertanian. Guna
mengawal penguatan ketahanan pangan dan mengingat krisis pangan akan bisa
berulang pada tahun-tahun mendatang maka perencanaan pembangunan pertanian
membutuhkan political will pemerintah. Tidak sekedar wacana dalam pidato-pidato
politik partai tetapi harus ada aksi nyata yang membutuhkan kerja keras dan
program kerja yang masuk akal dan pro petani. Pahlawan ketahanan pangan ini
harus ditempatkan sebagai aktor utama pembangunan pertanian yang akan
menyelamatkan kita dari krisis pangan di masa datang.
Kesimpulan
Istilah ketahanan pangan dalam kebijaksanaan dunia, pertama
kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB, tetapi Inodonesia secara formal baru
mengadopsi ketahanan pangan dalam kebijakan dan program pada tahun 1992, yang
kemudian definisi ketahanan pangan pada undang-undang pangan no:7 ada pada
tahun 1996.
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan
ketahanan ekonomi, ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan
interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana
dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah
swasembada atau kecukupan. Dalam
pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan
Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu
memfasilitasi program pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, serta dapat
secara efektif mendukung kebijakan strategi ketahanan pangan.
Mengacu pada permasalahan dan program pengolahan dan
pemasaran hasil pertanian serta kebijakan strategi ketahanan pangan
(ketersediaan, distribusi dan konsumsi), dan keberhasilan swasta (kasus
Garudafood) dan daerah (kasus Pemerintah Daerah Gorontalo) dalam pengembangan
agribisnis jagung dapat dirumuskan kebijakan strategis pengembangan teknologi
pangan. Kebijakan strategis tersebut mencakup aspek pengembangan kualifikasi
teknologi; keterpaduan pengolahan dan pemasaran; relevansi dan efektivitas
teknologi; pemberian otonomi luas kepada daerah; pelibatan swasta/pemilihan
komoditas prospektif berbasis pemberdayaan/dan pengembangan jaringan kerja
secara luas; pengembangan program kemitraan berawal/berbasis pemasaran; dan
pengembangan program Primatani berbasis industri pengolahan.
Saran
Adapun saran yang bisa di berikan adalah sebaiknya
pemerintah lebih memperhatikan masalah ketahanan pangan yang ada di Indonesia.
Karena masih banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana cara atau strategi
yang baik guna menjaga ketahanan pangan mereka.
Penutup
Demikian yang
dapat saya sampaikan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah
ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan
judul makalah ini.